NanjombangNews – Ada 638 laporan KDRT di DI Yogyakarta sepanjang tahun 2022
TRIBUNJOGJA.COM, Yoga – Warga DI Yogyakarta akan lebih sadar melaporkan semua tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada tahun 2022.
Fakta bahwa DPD RI masih menyoroti lemahnya fokus penanganan, karena tidak ada badan khusus yang khusus memberikan pembekalan kepada keluarga.
Kepala Bidang PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemantauan Kependudukan Yuli Morboje Astuti mengatakan, fenomena ini menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat.
Hal itu disampaikan dalam agenda Rapat Kerja DPD RI RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, di Gedung DPD RI DIY, Kota Yogya, Selasa (27/12/2022).
Baca juga: 38 penghuni rutan Wanousari kelas dua Al-Santari lulusan Khatam Aqro dan Takhmel Al-Quran
Ia menjelaskan, berdasarkan data realtime per pukul 14.19 WIB, ada 638 laporan kasus KDRT se-Yogyakarta yang masuk ke aplikasi SIGA DIY yang diajukan instansinya.
Dari jumlah tersebut, 94 persen korban atau 600 di antaranya adalah perempuan, sedangkan sisanya 38 (6 persen) adalah laki-laki.
“Kekhawatiran semakin berkembang, karena akses sekarang sangat terbuka, dan semua kabupaten dan kota sudah memiliki UPT PPA yang dekat dan mudah diakses masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ketika terjadi KDRT, korban kini dapat langsung melapor ke Puskesmas terdekat atau lembaga perlindungan perempuan dan anak swasta yang tergabung dalam aplikasi tersebut.
Nantinya, para korban akan mendapatkan pendampingan sekaligus pendampingan atas permasalahannya.
“Mungkin masih ada yang merasa malu dan sebagainya, sehingga enggan melapor. Namun, kita juga bisa memfasilitasi laporan secara online, dan sekarang semua orang punya smartphone. Jadi, jangan ragu untuk melapor,” ujarnya.
“Selain mempermudah akses laporan, kami tetap melakukan langkah-langkah preventif. Termasuk, terkait kesejahteraan ibu dan anak, kami condong ke peningkatan ketahanan keluarga,” lanjut Yuli.
Sementara itu, anggota Pansus III DPD RI Sholid Mahmud mengungkapkan, fenomena KDRT atau kekerasan terhadap perempuan tidak secara khusus dibahas dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Menurutnya, perumusan payung hukum lebih condong pada persoalan dunia kerja dan lingkungan.
“Namun harus kita waspadai, karena fenomena ini muncul dan diangkat dalam temu bisnis kali ini,” ujarnya.