NanjombangNews – Berkaca pada kebijakan Papua 2022, Yuris mendesak pemerintah meningkatkan komunikasi
Ketua Komite II DPD RI, Joris Rawaii. (pertama).
telusur.co.id – Sebentar lagi kita akan berada di penghujung tahun 2022. Berbagai peristiwa sosial dan politik berlangsung sepanjang tahun. Tak terhitung banyaknya gagasan dan pendapat yang muncul dalam menjelaskan perjalanan satu tahun yang bagi sebagian orang dipenuhi dengan hiruk pikuk yang sulit untuk dilewati.
Belum lama ini kami berada dalam situasi sosial yang tegang. Pandemi Covid-19 dalam berbagai bentuknya memberi warna lain pada cara kita memaknai perjalanan nasionalisme dan keindonesiaan.
Terkait hal itu, Ketua Panitia II DPD RI Yoris Rawaii mengajak masyarakat untuk tidak melupakan konstelasi sosial politik yang terjadi di ujung timur Indonesia, yakni Papua. Menurut anggota DPD RI Lahj Papua, masyarakat tidak boleh melupakan negara Papua. Sebab hingga kini kawasan ini cenderung terabaikan, meski satu demi satu masalah terus bermunculan.
“Begitulah rasanya dari waktu ke waktu. Berbagai macam regulasi dan kebijakan telah dikeluarkan untuk merespon persoalan daerah Papua, namun belum mencapai persepsi dan visi yang sama,” kata Yuris di Jakarta (25/12/22) .
“Ironisnya, persoalan demi persoalan muncul di saat banyak saluran perwakilan seperti DPD, DPR, DPRP dan MRP yang siap menjembatani kesenjangan dalam memahami apa maksud pemerintah pusat dan apa yang diinginkan masyarakat Papua,” tambah Yuris.
Diketahui, tahun 2022 akan menjadi tahun pertama yang dilalui setelah tahun 2021. Sebelumnya, Kebijakan Otonomi Khusus berdasarkan UU No 21 Tahun 2001 diperbarui dengan UU No 2 Tahun 2021. Menurut mantan politisi Partai Golkar itu, isi dari amandemen UU Otonomi Khusus patut dicontoh Sebagai upaya percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Namun konten ideal ini cenderung tidak banyak berdampak untuk membawa perubahan.
“UU Otonomi Swasta yang baru seperti cek kosong. Kesetaraan persepsi belum tercapai melalui sosialisasi yang komprehensif dan berkesinambungan. Padahal, banyak tokoh perwakilan yang bisa diajak bekerja sama untuk mencapai persepsi bersama ini,” jelas Uris , yang juga Ketua MPR Papua.
Menurut Uris, kebijakan baru ini tidak diterima begitu saja, melainkan penuh gangguan pemahaman dan pemikiran. Belum lagi peraturan yang diturunkan berupa peraturan pemerintah yang tidak dipahami secara sama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Uris mencatat, sejak diundangkannya Undang-Undang Pemerintahan Sendirian Jilid II, Pemerintah telah mengeluarkan 2 (2) peraturan turunan yang berkaitan dengan Undang-Undang Pemerintahan Khusus, khususnya PP No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan PP No. 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Terakhir, pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan PP No. Nomor 121 Tahun 2022 tentang Panitia Pengarah Percepatan Pengembangan Otsus Papua.
“Namun satu hal yang menjadi pertanyaan besar, selama ini unsur daerah yang terdiri dari pemerintah daerah (termasuk DPRP) dan lembaga budaya MRP belum merespon regulasi tersebut dalam bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasi dan Perdasus). Yang pasti masa depan Papua mendominasi, itu perspektif pemerintah pusat.”
Wakil Presiden MPO Pemuda Pancasila itu juga menyinggung tentang Daerah Otonom (DOB) baru di Papua yang menghadirkan tantangan baru. Menurutnya, pemekaran daerah di Papua bukan hanya persoalan konflik politik dan pembagian kekuasaan dan jabatan, tetapi sejauh mana esensi persoalan di Papua disinggung dan diadaptasikan.
“DOB di Papua merupakan tantangan baru di tengah permasalahan yang menumpuk. Jika tidak dikelola dengan baik, semua yang dihasilkan pada tahun 2022 akan menjadi beban sosial dan politik bagi masyarakat Papua.” [Tp]