Begini cara mafia tambang menguasai perusahaan pemilik IUP

NanjombangNews – Begini cara mafia tambang menguasai perusahaan pemilik IUP


Begini cara mafia tambang menguasai perusahaan pemilik IUP

neraca keuangan

JAKARTA – Pengambilalihan bermusuhan adalah situasi tradisional yang banyak dilakukan oleh mafia pertambangan. Bagaimana itu bekerja? Salah satu cara mafia pertambangan beroperasi adalah dengan cara memaksa mengambil alih perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang sah dengan menggunakan proses hukum yang tampak sah melalui perjanjian yang dibuat. Dalam sambutan Kapolri Sujeng Teguh Santoso, model kejahatan yang disebut dengan pengambilalihan bermusuhan adalah pola tradisional yang digunakan oleh berbagai pelaku mafia pertambangan dengan tujuan mengambil alih bisnis legal dengan harga murah.

Situasi ini juga terjadi dalam perselisihan antara PT Asia Pacific Mining Resources (APMR), pemegang saham mayoritas perusahaan nikel PT Citra Lampia Mandiri (CLM) dengan PT Aserra Mineralindo Investama (AMI) dahulu PT. Aserra Sejahtera Investama (AMI). Dalam kasus ini, pengambilalihan paksa GM didahului proses hukum berupa Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) senilai $28,5 juta yang baru saja dibayar $2 juta oleh Grup Aserra, kemudian dilanjutkan dengan pertarungan hukum baik melalui RUPS maupun Pengadilan Umum, diakhiri dengan eksekusi paksa di lapangan dengan bantuan polisi.

pungkas Sujing, seperti dikutip dalam keterangannya, Jumat (23/12).

Tanda tangan PJBB CLM atas pailitnya AMI Holding

Thomas Azali, direktur APMR sekaligus pemegang saham CLM, menjelaskan latar belakang perselisihan antara Grup APMR dan Grup Aserra yang sudah berlangsung selama 4 tahun, AMI sepertinya masih belum berniat untuk mengembalikannya. kekurangan US $ 26,5 juta, meskipun waktu diberikan. perpanjangan pada 2019. “Tapi ketika kami ingin menarik diri untuk mencari pembeli lain, mereka tidak mau menerimanya. Jadi dengan uang muka $2 juta, kami nongkrong seumur hidup.”

Belakangan, Thomas dan kawan-kawan mengetahui dari berbagai laporan bahwa saat itu PT Apexindo Duta Pratama Tbk (APEX), perusahaan induk Grup Aserra, ternyata sedang mengalami kesulitan keuangan yang parah sehingga para krediturnya diambang kebangkrutan.

Artinya, ketika mereka masuk PJBB, mereka sebenarnya tidak punya uang, tetapi mereka tetap bersikeras ingin memasukkan perusahaan kami, bisa saja dari awal mereka sebenarnya tidak berniat untuk berinvestasi di CLM tetapi ingin secara ilegal mengontrol saham APMR dari Melalui proses yang tampaknya legal.”

Emmanuel Valentinos Dumen (Manuel), Direktur APMR, pemegang saham mayoritas CLM, membeberkan sejumlah laporan terkait pailitnya APEX periode 2018-2019. Di antaranya seperti diberitakan Investor.id Apexindo menjalani sidang PKPU pada 26 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meski mayoritas kreditur kemudian menyetujui proposal perdamaian APEX pada 13 Mei 2019.

Seperti dilansir NanjombangNews pada 15 Mei 2019, berdasarkan tahap verifikasi PKPU saat itu, APEX memiliki total utang Rp5,81 triliun yang disalurkan kepada 335 kreditur. Utang ini timbul dari kegiatan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Saat dicekal PKPU oleh kreditur pada 8 Maret 2018, CEO APEX Zain El Abidinesi Sergar menyatakan kondisi perusahaan yang dipimpinnya tidak dalam kondisi terbaik akibat anjloknya harga minyak sejak 2016.

Lebih lanjut, cnbcindonesia.com menjelaskan pada 1 Juli 2019 bahwa emiten pertambangan migas tersebut didenda dan disuspend oleh BEI karena tidak memberikan laporan keuangan tahun 2018. Menurut laporan keuangan APEX per 30 September 2018, kinerja keuangan APEX tercatat pada Ini memiliki nilai buku negatif dari saham Rs 81,66 juta.

Terkait kasus sengketa APMR vs Aserra Group, Sujing berpendapat, jika penegak hukum punya political will, maka kasus hukum antara CLM dan AMI sebenarnya bukan masalah yang rumit. Menurut dia, aparat hanya menilai dari situasi PJBB $28,5 juta yang baru dibayarkan $2 juta. “Ini persoalan sederhana. Ada juga utang US$26,5 yang belum dibayar,” katanya.

Kriminalisasi dan bias polisi

Hal lain yang menjadi catatan IPW dalam berbagai kasus mafia pertambangan di Indonesia adalah keberpihakan polisi. Ketika polisi memihak salah satu pihak, menurutnya ada kecenderungan pihak lain “dipotong” oleh mekanisme hukum pidana atau yang disebut kriminalisasi.

Hal yang sama juga terjadi pada Thomas dkk dari kelompok APMR. Thomas menegaskan bahwa masalah antara CLM dan AMI yang berlangsung selama 4 tahun adalah murni masalah perdata, namun kemudian Zine El Abidencia dan lainnya berusaha untuk menghukum Thomas dan lainnya, dengan berbagai tuduhan yang diupayakan.

Selain yang menimpa jajaran direksi CLM dan APMR, IPW menjelaskan kasus serupa juga menimpa perusahaan batu bara PT Rantau Utama Bhakti Sumatra (RUBS) yang masih berlangsung hingga kini. Kasus ini menyangkut Hanifah Hussain, istri mantan Menteri Pertanian dan Tata Ruang/Presiden BPN, almarhum Ferry Mersdin Baldan. Menurut Sujing, saat investor memberikan pinjaman modal kepada manajemen perusahaan tambang, Hanifa dan dua pejabat RUBS lainnya dilaporkan dan didakwa melakukan penggelapan saham, sedangkan uangnya tidak dikembalikan.

“Ini adalah contoh kriminalisasi yang terjadi. Mafia pertambangan menggunakan kekuatan dan menjual pengaruh bisnis kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan penguasa. Orang-orang yang terlibat dalam konflik biasanya merangkul orang-orang yang memiliki kekuatan hukum, kekuasaan, dan bahkan politik.”

neraca keuangan

JAKARTA – Pengambilalihan bermusuhan adalah situasi tradisional yang banyak dilakukan oleh mafia pertambangan. Bagaimana itu bekerja? Salah satu cara mafia pertambangan beroperasi adalah dengan cara memaksa mengambil alih perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang sah dengan menggunakan proses hukum yang tampak sah melalui perjanjian yang dibuat. Dalam sambutan Kapolri Sujeng Teguh Santoso, model kejahatan yang disebut dengan pengambilalihan bermusuhan adalah pola tradisional yang digunakan oleh berbagai pelaku mafia pertambangan dengan tujuan mengambil alih bisnis legal dengan harga murah.

Situasi ini juga terjadi dalam perselisihan antara PT Asia Pacific Mining Resources (APMR), pemegang saham mayoritas perusahaan nikel PT Citra Lampia Mandiri (CLM) dengan PT Aserra Mineralindo Investama (AMI) dahulu PT. Aserra Sejahtera Investama (AMI). Dalam kasus ini, pengambilalihan paksa GM didahului proses hukum berupa Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) senilai $28,5 juta yang baru saja dibayar $2 juta oleh Grup Aserra, kemudian dilanjutkan dengan pertarungan hukum baik melalui RUPS maupun Pengadilan Umum, diakhiri dengan eksekusi paksa di lapangan dengan bantuan polisi.

pungkas Sujing, seperti dikutip dalam keterangannya, Jumat (23/12).

Tanda tangan PJBB CLM atas pailitnya AMI Holding

Thomas Azali, direktur APMR sekaligus pemegang saham CLM, menjelaskan latar belakang perselisihan antara Grup APMR dan Grup Aserra yang sudah berlangsung selama 4 tahun, AMI sepertinya masih belum berniat untuk mengembalikannya. kekurangan US $ 26,5 juta, meskipun waktu diberikan. perpanjangan pada 2019. “Tapi ketika kami ingin menarik diri untuk mencari pembeli lain, mereka tidak mau menerimanya. Jadi dengan uang muka $2 juta, kami nongkrong seumur hidup.”

Belakangan, Thomas dan kawan-kawan mengetahui dari berbagai laporan bahwa saat itu PT Apexindo Duta Pratama Tbk (APEX), perusahaan induk Grup Aserra, ternyata sedang mengalami kesulitan keuangan yang parah sehingga para krediturnya diambang kebangkrutan.

Artinya, ketika mereka masuk PJBB, mereka sebenarnya tidak punya uang, tetapi mereka tetap bersikeras ingin memasukkan perusahaan kami, bisa saja dari awal mereka sebenarnya tidak berniat untuk berinvestasi di CLM tetapi ingin secara ilegal mengontrol saham APMR dari Melalui proses yang tampaknya legal.”

Emmanuel Valentinos Dumen (Manuel), Direktur APMR, pemegang saham mayoritas CLM, membeberkan sejumlah laporan terkait pailitnya APEX periode 2018-2019. Di antaranya seperti diberitakan Investor.id Apexindo menjalani sidang PKPU pada 26 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meski mayoritas kreditur kemudian menyetujui proposal perdamaian APEX pada 13 Mei 2019.

Seperti dilansir NanjombangNews pada 15 Mei 2019, berdasarkan tahap verifikasi PKPU saat itu, APEX memiliki total utang Rp5,81 triliun yang disalurkan kepada 335 kreditur. Utang ini timbul dari kegiatan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Saat dicekal PKPU oleh kreditur pada 8 Maret 2018, CEO APEX Zain El Abidinesi Sergar menyatakan kondisi perusahaan yang dipimpinnya tidak dalam kondisi terbaik akibat anjloknya harga minyak sejak 2016.

Lebih lanjut, cnbcindonesia.com menjelaskan pada 1 Juli 2019 bahwa emiten pertambangan migas tersebut didenda dan disuspend oleh BEI karena tidak memberikan laporan keuangan tahun 2018. Menurut laporan keuangan APEX per 30 September 2018, kinerja keuangan APEX tercatat pada Ini memiliki nilai buku negatif dari saham Rs 81,66 juta.

Terkait kasus sengketa APMR vs Aserra Group, Sujing berpendapat, jika penegak hukum punya political will, maka kasus hukum antara CLM dan AMI sebenarnya bukan masalah yang rumit. Menurut dia, aparat hanya menilai dari situasi PJBB $28,5 juta yang baru dibayarkan $2 juta. “Ini persoalan sederhana. Ada juga utang US$26,5 yang belum dibayar,” katanya.

Kriminalisasi dan bias polisi

Hal lain yang menjadi catatan IPW dalam berbagai kasus mafia pertambangan di Indonesia adalah keberpihakan polisi. Ketika polisi memihak salah satu pihak, menurutnya ada kecenderungan pihak lain “dipotong” oleh mekanisme hukum pidana atau yang disebut kriminalisasi.

Hal yang sama terjadi pada Thomas et al dari kelompok APMR. Thomas menegaskan bahwa masalah antara CLM dan AMI yang berlangsung selama 4 tahun adalah murni masalah perdata, namun kemudian Zine El Abidencia dan lainnya berusaha untuk menghukum Thomas dan lainnya, dengan berbagai tuduhan yang diupayakan.

Selain yang menimpa jajaran direksi CLM dan APMR, IPW menjelaskan kasus serupa juga menimpa perusahaan batu bara PT Rantau Utama Bhakti Sumatra (RUBS) yang masih berlangsung hingga kini. Kasus ini menyangkut Hanifah Hussain, istri mantan Menteri Pertanian dan Tata Ruang/Presiden BPN, almarhum Ferry Mersdin Baldan. Menurut Sujing, saat investor memberikan pinjaman modal kepada manajemen perusahaan tambang, Hanifa dan dua pejabat RUBS lainnya dilaporkan dan didakwa melakukan penggelapan saham, sedangkan uangnya tidak dikembalikan.

“Ini adalah contoh kriminalisasi yang terjadi. Mafia pertambangan menggunakan kekuatan dan menjual pengaruh bisnis kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan penguasa. Orang-orang yang terlibat dalam konflik biasanya merangkul orang-orang yang memiliki kekuatan hukum, kekuasaan, dan bahkan politik.”

Check Also

FIFA mengumumkan nominasi FIFA Best Football Awards 2022 |  Republica Online

FIFA mengumumkan nominasi FIFA Best Football Awards 2022 | Republica Online

NanjombangNews – FIFA mengumumkan nominasi FIFA Best Football Awards 2022 | Republica Online Piala Asia …